Jumat, 11 November 2016

Akhlak Tasawuf: Persamaan dan Perbedaan Antara Tasawuf dengan Mistik



KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya atas perkenan-Nya tugas penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.
Makalah yang berjudul “Perbedaan dan Persamaan antara Mistik dan Tasawuf” ini ditulis guna untuk memenuhi tugas matakuliah Akhlak Tasawuf.
Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada:
1.      Dr. Maftukhin, M.Ag selaku rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung
2.      Dr. H. Syamsun Ni’am, M.Ag. (MSI) selaku dosen pengampu
3.      Teman-teman dan semua pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan. Semoga makalah ini bermanfaat dan mendapat ridha dari Allah SWT.

Tulungagung, 23 Oktober 2016

Penulis

 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di dunia modern ini masih banyak orang dari berbagai kalangan yang masih belum mengetahui apa itu tasawuf dan mistik, bagaimana persamaan dan perbedaan kedua nya.
Melihat hal yang demikian kami tertarik untuk membuat makalah yang bertema persamaan dan perbedaan antara tasawuf dan mistik. Kami berharap dengan pembuatan makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian tasawuf?
2.      Bagaimana pengertian mistik?
3.      Bagaimana persamaan dan perbedaan antara tasawuf dan mistik?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian tasawuf.
2.      Untuk mengetahui pengertian mistik.
3.      Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara tasawuf dan mistik.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tasawuf
Secara etimologi, kata tasawuf (التصوف) berasal dari bahasa arab.
Pertama, dari kata Shuf artinya bulu domba. Kedua, dari Ahl Al-Suffah berarti orang-orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah dan meninggalkan harta, rumah, dan tidak membawa apa-apa. Karenanya mereka tinggal di serambi masjid dengan tidur diatas batu dengan memakai pelana dan pelana itupun disebut Suffah. Ketiga, dari kata Shafi atau Sufi yang berarti suci. Orang-orang ahli tasawuf adalah orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang berbau keduniawian. Keempat, dari kata Sophia atau Sophos yang berasal dari bahasa Yunani, berarti hikmat atau hikmah atau filsafat. Kelima, dari Saf  berarti barisan. Karena pada saat itu orang-orang sufi sering melaksanakan shalat di barisan pertama karena ingin mendapatkan kemuliaan yang lebih utama.[1]
Dari segi Linguistik (kebahasaan) dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.[2]
Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa tasawuf adalah ilmu yang memuat cara tingkah laku atau amalan-amalan yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau berhubungan dengan-Nya.[3]
Sumber tasawuf menurut jumhur ulama-adalah Alquran, Alsunnah, dan tradisi-tradisi yang berkembang seiring sejalan dengan dinamika.
Islam melalui tokoh-tokoh sufi teladan (as-Salafuna asb-Shalihin). Inilah yang kemudian tasawuf harus senantiasa berjalan bergandeng dengan Alquran dan Alsunnah sebagai sumber utamanya, dan tradisi-tradisi yang berkembang di dalam Islam sebagai pengkayaan akan nilai-nilai ketasawufan. Jika ditemukan pemahaman dan pengalaman (praktik) tasawuf yang menyimpang dari sumber-sumber tersebut, akan ditolak.
Tasawuf ialah kajian yang masuk pada olah rasa (psikis). Oleh karena itu, yang menjadi objek kajian tasawuf bermuara kepada wilayah batin (dzawqy). Menurut Al-Hakim at-Tirmidzi (255-320), seorang tokoh sufi Khurasan, menjelaskan tentang objek dan sasaran tasawuf. Menurut Al-Hakim ada empat macam objek tasawuf yang ada pada diri manusia, yaitu ash-shadr, al-qalb, al-fuad, dan al-lubb. Dari segi tingkatan dan tempatnya, al-lubb berada di dalam al-fuad, al-fuad di dalam al-qalb, dan al-qalb di dalam ash-shadr.[4]

B.     Pengertian Mistik
Menurut asal katanya, kata mistik berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinning), tersembunyi (verborgen), gelap (donker), atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gebuld). Berdasarkan arti tersebut mistik sebagai sebuah paham, yaitu paham mistik atau mistisisme merupakan paham yang memberikan ajaran yang serbamistis (ajarannya terbentuk rahasia atau ajarannya serbarahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui, atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Menurut De Kleine W.P., kata mistik berasal dari bahasa Yunani myein yang artinya menutup mata (de ogen sluiten) dan musterion yang artinya suatu rahasia (geheimnis).[5]
Ada beberapa pendapat tentang pengertian paham mistik atau mistisme sebagai berikut.[6]
1.         Kepercayaan tentang adanya kontak antara manusia bumi (aardse mens) dan Tuhan.
2.         Kepercayaan tentang persatuan mesra (mesra vereneging) ruh manusia (zeil) dengan Tuhan.
3.         Kepercayaan kepada suatu kemungkinan terjadinya persatuan langsung (onmiddleijke vereneging) manusia engan Dzat Ketuhanan (goddelijke wezen) dan perjuangan bergairah kepada persatuan itu.
4.         Kepercayaan kepada hal-hal yang rahasia (geheimnissen) dan hal-hal yang tersembunyi (verbonrgenheden).
5.         Kecenderungan hati (neiging) kepada kepercayaan yang menakjubkan (wondergeloof) atau kepada ilmu yang rahasia (geheime weteschap).

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kecenderungan paham mistik, materi ajarannya didasarkan aspek-aspek keagamaan (terkait dengan Tuhan dan ketuhanan) dan aspek non-keagamaan (tidak terkait dengan Tuhan ataupun ketuhanan). Di samping itu, ajaran yang dikonsepsikannya juga terkesan subjektif, karena tidak ditemukan pedoman dasar yang universal dan otentik. Oleh karena itu, paham mistik selalu bersumber dari pribadi tokoh utamanya sehingga paham mistik itu tidak ada yang sama antara paham mistik yang satu dengan yang lainnya.
Terkadang, tokoh dalam paham mistik sangat dimuliakan, diagungkan bahkan diberhalakan (dimitoskan, dikultuskan) oleh penganutnya, karena dianggap memiliki keistimewaan pribadi yang disebut karisma. Anggapan adanya keistimewaan ini dapat disebabkan oleh:
1.      pernah melakukan kegiatan yang istimewa;
2.      pernah mengatasi kesulitan, penderitaan, bencana atau bahaya yang mengancam dirinya apalagi masyarakat umum;
3.      masih keturunan atau ada hubungan darah, bekas murid atau kawan dengan dari orang yang memiliki karisma;
4.      pernah meramalkan dengan tepat suatu kejadian besar/penting.
Sang tokoh itu menerima ajaran atau pengertian tentang paham yang diajarkannya itu melalui petulangan batin, pengasingan diri, bertapa, bersemedi, bermeditasi, mengeheningkan cipta, dan lain-lain dalam bentuk ekstase, vision, inspirasi, dan sebagainya. Dengan demikian, ajarannya tersebut diperoleh melalui pengalaman pribadi tokoh itu sendiri dan penerimaannya itu tidak dapat dibuktikannya sendiri kepada orang lain. Hal ini yang kemudian penerimaan ajarannya hampir-hampir hanya berdasarkan kepercayaan belaka, bukan pemikiran. Maka dari itulah, di anatara kita ada yang menyebutnya paham, ajaran kepercayaan, atau aliran kepercayaan (geloofsleer).
Dalam konteks modern seperti ssekarang ini, paham mistik kiranya menjadi paham alternatif oleh sebagian besar masyarakat perkotaan (urban). Hal ini terjadi disebabkan adanya beberapa alasan, antara lain sebagai berikut.[7]
1.      Kurang puas yang berlebihan, bagi orang-orang yang hidup beragama secara bersungguh-sungguh merasa kurang puas dengan hidup menghamba kepada Tuhan menurut ajaran agamanya yang ada saja.
2.      Rasa kecewa yang berlebihan. Orang yang hidupnya kurang bersungguh-sungguh dalam beragama atau orang yang tidak beragama merasa kecewa sekali melihat hasil usaha umat manusia di bidang scinence dan teknologi yang semula diandalkan dan diagungkan ternyata tidak dapat mendatangkan ketertiban, ketenteraman, dan kebahagiaan hidup. Malah mendatangkan hal-hal yang sebaliknya. Mereka “lari” dari kehidupan modern menuju ke kehidupan yang serbasujektif, abstrak, dan spekulatif sesuai dengan kedudukan sosialnya.
3.      Mencari hakikat yang sebenarnya, orang yang ingin mencari hakikat hidup sebenarnya juga ada yang terjebak bahwa kebenaran hanya akan didapat dari pengalaman mistiknya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tujuan dari paham mistik adalah dapat bersatunya seorang hamba dengan Tuhan dan selain Tuhan.
C.    Persamaan dan Perbedaan antara Tasawuf dan Mistik
Mistisme dalam Islam diberi nama tasawuf; oleh kaum orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisime yang terdapat dalam agama-agama lain. Sufisme merupakan istilah Inggris modern yang digunakan untuk menerjemahkan kata Arab tasawuf, yaitu kata benda verbal yang berarti perilaku atau proses menjadi sufi.
Harun Nasution menyebutkan, bahwa intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad, bersatu dengan Tuhan, sehingga bisa dikatakan bahwa pranata mistik adalah seperangkat aturan yang berkisar tentang kegiatan tasawuf/sufisme. Dengan demikian Harun Nasution dalam konteks ini melihat tasawuf/sufisme identik dengan mistisisme.[8]
Abu al-Wafa’ al-Ghunaimi at-Taftazani mengutip pendapat William James, seorang ahli ilmu jiwa Amerika, mengatakan bahwa kondisi-kondisi mistisisme atau tasawuf selalu ditandai oleh empat karakteristik sebagai berikut.[9]
1.      Ia merupakan suatu kondisi pemahaman (noetic). Sebab, bagi para penempuhnya ia merupakan kondisi pengetahuan serta dalam kondisi tersebut tersingkaplah hakikat realitas yang baginya merupakan ilham, dan bukan merupakan pengetahuan demonstratif.
2.      Ia merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan. Sebab, ia semacam kondisi perasaan (states of feeling), yang uslit diterangkan pada orang lain dalamdetail kata-kata seteliti apa pun.
3.      Ia merupakan suatu kondisi yang cepat sirna (transsiency). Dengan kata lain, ia tidak berlangsung lama tinggal pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan sangat kuat dalam ingatan.
4.      Ia merupakan suatu kindisi pasif (passivity). Dengan kata lain, seorang tidak mungkin menumbuhkan kondisi tersebut dengan kehendak sendiri. Sebab, dalam pengalaman mistisnya, justru dia tampak seolah-olah tunduk di bawah suatu kekuatan supernatural yang begitu menguasainya.

Sementara menurut R.M.Bucke, terdapat tujuh karakteristik di dalam kondisi mistisisme atau tasawuf, yaitu sebagai berikut.
1.      Pancaran diri subjektif (subjective light).
2.      Peningkatan moral (moral elevation).
3.      Kecerlangan intelektual (intellectual illumination).
4.      Perasaan hidup kekal (sence of immotality).
5.      Hilangnya perasaan akut mati (loss of fear of death).
6.      Hilangnya perasaan dosa (loss of sense of sin).
7.      Ketiba-tibaan (suddenness).
Karakteristik umum tasawuf atau mistisisme, sebagaimana yang dikemukakan James dan Bucke, dapat dikatakan terdapat pada sebagian besar aliran tasawuf atau mistisme. Namun, karakteristik yang dikemukakan di atas itu belum lagi lengkap, sebab masih banyak ciri lainnya yang tidak kalah penting yang tidak tercakup di sana. Misalnya, perasaan tenteram, keikhlasan jiwa atau penuh penerimaan, perasaan fana penuh dalam realitas mutlak, perasaan pencapaian yang mengatasi dimensi ruang dan waktu, dan lain-lain.
Sementara itu, Bertrand Russell setelah menganalisis kondisi-kondisi tasawauf atau mistisisme, telah berusaha untuk membatasi ciri-ciri filosofis tasawuf atau mistisme ke dalam empat karakteristik yang menurutnya akan membedakan tasawuf atau mistisme dari filsafat-filsafat lainnya, pada semua kurun-masa dan di seluruh penjuru dunia. Antara lain sebagai berikut.[10]
1.      Keyakinan atas intuisi (intuition) dan pemahaman batin (insight) sebagai metode pengetahuan, sebagai kebalikan dari pengetahuan rasional analitis.
2.      Keyakinan atas ketunggalan (wujud), serta peningkaran atas kontradiksi dan diferensi, bagaimanapun bentuknya.
3.      Peningkaran atas realitas zaman.
4.      Keyakinan atas kejahatan sebagai sesuatu yang hanya sekedar lahiriah dan ilusi saja, yang dikenakan kontradiksi dan diferensi, yang dikenalikan rasio analitis.
Lebih lanjut, At-Taftazani menjelaskan bahwa tasawuf atau mistisismeme pada umumnya memiliki lima ciri yang bersifat psikis, moral, dan epistemologis, yang menurutnya sesuai dengan semua bentuk tasawuf atau mistisme. Kelima ciri tersebut sebagai berikut.[11]
1.      Peningkatan moral. Setiap tasawuf atau mistisme memiliki nilai-nilai moral tertentu yang tujuannya untuk membersihkan jiwa, untuk perealisasian nilai-nilai itu. Dengan sendirinya, hal ini memerlukan latihan-latihan fisik-psikis tersndiri, dan pengekangan diri dari materalisme duniawi, dan lain-lain.
2.      Penemuan fana’ (sirna) dalam realitas mutlak. Inilah ciri khas tasawuf atau mistisme dalam pengertiannya yang sungguh terkaji. Maksud dari fana’ ialah dengan latihan-latihan fisik dan psikis yang ditempuhnya, seorang sufi atau mistikus sampai kepada kondisi psikis tertentu di mana dia tidak lagi merasakan adanya diri ataupun keakuannya. Bahkan, dia merasa kekal-abadi dalam realitas yang tertinggi. Bahkan, dia telah meleburkan kehendaknya bagi kehendak yang mutlak.
3.      Pengetahuan intuitif langsung. Ini adalah norma yang dikaji secara epistemologis, yang membedakan tasawuf atau mistisme dengan filsafat. Apabila dengan filsafat, yang dalam memahami realitas mutlak seseorang menggunakan metode-metode intelektual, ia disebut seorang filsuf. Sementara itu, jika dia berkeyakinan atas di balik persepsi indrawi dan penalaran intelektual, yang disebut dengan kasyf atau ituisi atau sebutan-sebutan lainnya, dalam kondisi seperti ini dia disebut sebagai sufi atau mistikus dalam pengertiannya yang lengkap. Intuisi menurut para sufi atau mistikus, bagaikan sinar kilat yang muncul dan perginya selalu tiba-tiba.
4.      Ketenteraman atau kebahagiaan. Ini merupakan karakteristik khusus pada semua bentuk tasawuf atau mistisisme. Sebab, tasawuf atau mistisme dimaksudkan sebagai petunjuk atau pengendali berbagi dorongan hawa nafsu, dan pembangkit keseimbangan psikis pada diri seorang sufi ataupun mistikus, dengan sendirinya, maksud ini membuat sang sufi ataupun mistikus tersebut terbebas dari semua rasa takut dan merasa intens dalam ketenteraman jiwa, dan kebahagiaan dirinya pun terwujudkan. Selain itu, sebagian sufi atau mistikus telah menyatakan bahwa pemenhan fana’ kepada yang mutlak dan pengetahuan mengenai diri-Nya justru membangkitkan suatu kebahagiaan pada diri seorang manusia, yang mustahil dapat diuraikan dengan kata-kata.
5.      Penggunaan simbol dalam ungkapan-ungkapan. Maksudnya adalah ungkapan-ungkapan yang dipergunakan para sufi atau mistikus itu biasanya mengandung dua pengertian. Pertama, pengertian yang diperoleh dari harfiah kata-kata. Kedua, pengertian yang diterima dari analisis dan pendalaman. Pengertian yang kedua ini hampir sepenuhnya tertutup bagi yang bukan sufi atau mistikus; dan sulit baginya untuk dapat memahami ucapan sufi ataupun mistikus, apalagi untuk dapat memahami maksud dan tujuan mereka. Sebab tasawuf atau mistisme adalah kondisi-kondisi efektif yang khusus, yang mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Setiap sufi atau mistikus punya cara tersendiri dalam mengungkapkan kondisi-kondisi yang dialaminya. Dengan demikian, tasawuf atau mistisme merupakan pengalaman yang subjektif.
Perspektif di atas menunjukkan bahwa At-Taftazani memiliki pendapat sama dengan Harun Nasution, yang memandang bahwa tasawuf dan mistisisme adalah dua hal yang sama. Keduanya telah memiliki pengertian, objek, karakteristik dan tujuan yang sama.
Dalam konteks ini, akan sulit dibedakan mengenai definisi orang sakti/hebat dengan cara belajar ilmu kanuragan, kesaktian (ilmu hikmah), dan lain-lain; dengan orang yang memang mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara maqamat (stations/stages/tahapan-tahapan) dalam tasawuf. Ini yang kemudian dapat mengelabui banyak orang atas kekaburan tersebut. Oleh karena itu, kiranya penting untuk dijelaskan perbedaan dan persamaan antara tasawuf dan mistik sehingga dipahami akan posisi eksistensi ajaran masing-masing.



Persamaan dan Perbedaan Tasawuf dan Mistik[12]
Perbedaan & Persamaan
Tasawuf
Mistik
Sumber
Wahyu (Alquran dan Alsunnah), al-Atsar ash-Shahabah, tradisi Salafuna ash-Shalihin
Pemikiran, Budaya, dan Tradisi
Objek
Ash-shadr, al-qalb, al-fuad, al-lubb, dan an-nafs
Psikis, Batin, dan Rasa
Metode
Intuitif, dzauqy, kasyfy, ‘irfany
Olah rasa, Kebatinan, dan Kepercayaan
Tujuan
Kedekatan dengan Tuhan dalam berbagi bentuk (bisa ma’rifah, mahabbah, fana’, hulul)
Kedekatan dengan Tuhan dan selain Tuhan (bisa bersatu dengan Tuhan dan selain Tuhan)

   
  
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tasawuf adalah pengetahuan tentang semua bentuk tingkah laku jiwa manusia, baik yang terpuji maupun tercela.
Mistik sebagai sebuah paham, mistisisme merupakan paham yang memberikikan ajaran yang serbamistis (ajarannya berbentuk rahasia) sehingga hanya dipahami oleh orang-orang tertentu saja.
Perbedaan dan persamaan antara tasawuf dan mistik terletak pada sumber, objek, metode, dan tujuan.

B.     Saran
Kami menyadari kekurangan dari makalah ini, sehingga kami manyarankan kepada pembaca agar bisa memberikan kritik dan saran, agar makalah ini bisa jadi lebih baik, terima kasih.


  

DAFTAR PUSTAKA
Ni’am, Syamsun. 2014. TASAWUF STUDIES PENGANTAR BELAJAR   TASAWUF. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA
Nasution, Ahmad Bangun, & Siregar, Royani Hanum. 2013. Akhlak Tasawuf. Depok: PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Rusli, Ris’an. 2013. TASAWUF DAN TAREKAT Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada


[1] Ris’an, Rusli, TASAWUF DAN TAREKAT Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 4-6
[2] Ahmad Bangun Nasution, dan Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 13
[3] Ris’an, Rusli, TASAWUF DAN TAREKAT...hlm. 9
[4] Syamsun, Ni’am, TASAWUF STUDIES PENGANTAR BELAJAR TASAWUF, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2014),  hlm. 105
[5] Ibid., hlm. 105
[6] Ibid., hlm. 106
[7] Ibid., hlm. 107
[8] Ibid., hlm. 108
[9] Ibid., hlm. 108
[10] Ibid., hlm. 109
[11] Ibid., hlm. 109-110
[12] Ibid., hlm. 112


1 komentar:

  1. Terima kasih! Saya sangat puas dengan penjelasan makalah ini. Tetap semangat terus! Dan semoga barokah!

    BalasHapus