KATA PENGANTAR
Puji
syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya atas
perkenan-Nya tugas penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.
Makalah
yang berjudul “Perbedaan dan Persamaan
antara Mistik dan Tasawuf” ini ditulis guna untuk memenuhi tugas matakuliah
Akhlak Tasawuf.
Pada
kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada:
1. Dr.
Maftukhin, M.Ag selaku rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung
2. Dr.
H. Syamsun Ni’am, M.Ag. (MSI) selaku dosen pengampu
3. Teman-teman
dan semua pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami
menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu
kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan. Semoga makalah ini
bermanfaat dan mendapat ridha dari Allah SWT.
Tulungagung, 23 Oktober 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di
dunia modern ini masih banyak orang dari berbagai kalangan yang masih belum
mengetahui apa itu tasawuf dan mistik, bagaimana persamaan dan perbedaan kedua
nya.
Melihat
hal yang demikian kami tertarik untuk membuat makalah yang bertema persamaan
dan perbedaan antara tasawuf dan mistik. Kami berharap dengan pembuatan makalah
ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pengertian tasawuf?
2. Bagaimana
pengertian mistik?
3. Bagaimana
persamaan dan perbedaan antara tasawuf dan mistik?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian tasawuf.
2. Untuk
mengetahui pengertian mistik.
3. Untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan antara tasawuf dan mistik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tasawuf
Secara etimologi, kata tasawuf (التصوف)
berasal dari bahasa arab.
Pertama, dari kata Shuf
artinya bulu domba. Kedua, dari Ahl Al-Suffah berarti orang-orang
yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah dan meninggalkan harta,
rumah, dan tidak membawa apa-apa. Karenanya mereka tinggal di serambi masjid
dengan tidur diatas batu dengan memakai pelana dan pelana itupun disebut Suffah.
Ketiga, dari kata Shafi atau Sufi yang berarti suci.
Orang-orang ahli tasawuf adalah orang-orang yang mensucikan dirinya dari
hal-hal yang berbau keduniawian. Keempat, dari kata Sophia atau Sophos
yang berasal dari bahasa Yunani, berarti hikmat atau hikmah atau filsafat. Kelima,
dari Saf berarti barisan. Karena
pada saat itu orang-orang sufi sering melaksanakan shalat di barisan pertama
karena ingin mendapatkan kemuliaan yang lebih utama.[1]
Dari segi Linguistik (kebahasaan) dipahami bahwa
tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah,
hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana.
Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.[2]
Dari beberapa
definisi tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa tasawuf adalah ilmu yang
memuat cara tingkah laku atau amalan-amalan yang bertujuan untuk mendekatkan
diri kepada Allah atau berhubungan dengan-Nya.[3]
Sumber tasawuf menurut jumhur ulama-adalah Alquran, Alsunnah, dan
tradisi-tradisi yang berkembang seiring sejalan dengan dinamika.
Islam melalui tokoh-tokoh sufi teladan (as-Salafuna asb-Shalihin). Inilah yang kemudian tasawuf harus
senantiasa berjalan bergandeng dengan Alquran dan Alsunnah sebagai sumber
utamanya, dan tradisi-tradisi yang berkembang di dalam Islam sebagai pengkayaan
akan nilai-nilai ketasawufan. Jika ditemukan pemahaman dan pengalaman (praktik)
tasawuf yang menyimpang dari sumber-sumber tersebut, akan ditolak.
Tasawuf ialah kajian yang masuk pada olah rasa (psikis). Oleh karena
itu, yang menjadi objek kajian tasawuf bermuara kepada wilayah batin (dzawqy). Menurut Al-Hakim at-Tirmidzi
(255-320), seorang tokoh sufi Khurasan, menjelaskan tentang objek dan sasaran
tasawuf. Menurut Al-Hakim ada empat macam objek tasawuf yang ada pada diri
manusia, yaitu ash-shadr, al-qalb,
al-fuad, dan al-lubb. Dari segi
tingkatan dan tempatnya, al-lubb berada
di dalam al-fuad, al-fuad di dalam al-qalb, dan al-qalb di dalam ash-shadr.[4]
B.
Pengertian
Mistik
Menurut
asal katanya, kata mistik berasal
dari bahasa Yunani mystikos yang
artinya rahasia (geheim), serba
rahasia (geheimzinning), tersembunyi
(verborgen), gelap (donker), atau terselubung dalam
kekelaman (in het duister gebuld).
Berdasarkan arti tersebut mistik sebagai sebuah paham, yaitu paham mistik atau
mistisisme merupakan paham yang memberikan ajaran yang serbamistis (ajarannya
terbentuk rahasia atau ajarannya serbarahasia, tersembunyi, gelap atau
terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui, atau dipahami
oleh orang-orang tertentu saja. Menurut De Kleine W.P., kata mistik berasal
dari bahasa Yunani myein yang artinya
menutup mata (de ogen sluiten) dan musterion yang artinya suatu rahasia (geheimnis).[5]
Ada
beberapa pendapat tentang pengertian paham mistik atau mistisme sebagai
berikut.[6]
1.
Kepercayaan tentang adanya kontak antara
manusia bumi (aardse mens) dan Tuhan.
2.
Kepercayaan tentang persatuan mesra (mesra vereneging) ruh manusia (zeil) dengan Tuhan.
3.
Kepercayaan kepada suatu kemungkinan
terjadinya persatuan langsung (onmiddleijke
vereneging) manusia engan Dzat Ketuhanan (goddelijke wezen) dan perjuangan bergairah kepada persatuan itu.
4.
Kepercayaan kepada hal-hal yang rahasia
(geheimnissen) dan hal-hal yang
tersembunyi (verbonrgenheden).
5.
Kecenderungan hati (neiging) kepada kepercayaan yang menakjubkan (wondergeloof) atau kepada ilmu yang rahasia (geheime weteschap).
Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa kecenderungan paham mistik, materi ajarannya didasarkan aspek-aspek
keagamaan (terkait dengan Tuhan dan ketuhanan) dan aspek non-keagamaan (tidak
terkait dengan Tuhan ataupun ketuhanan). Di samping itu, ajaran yang
dikonsepsikannya juga terkesan subjektif, karena tidak ditemukan pedoman dasar
yang universal dan otentik. Oleh karena itu, paham mistik selalu bersumber dari
pribadi tokoh utamanya sehingga paham mistik itu tidak ada yang sama antara
paham mistik yang satu dengan yang lainnya.
Terkadang, tokoh dalam paham mistik
sangat dimuliakan, diagungkan bahkan diberhalakan (dimitoskan, dikultuskan)
oleh penganutnya, karena dianggap memiliki keistimewaan pribadi yang disebut
karisma. Anggapan adanya keistimewaan ini dapat disebabkan oleh:
1. pernah
melakukan kegiatan yang istimewa;
2. pernah
mengatasi kesulitan, penderitaan, bencana atau bahaya yang mengancam dirinya
apalagi masyarakat umum;
3. masih
keturunan atau ada hubungan darah, bekas murid atau kawan dengan dari orang
yang memiliki karisma;
4. pernah
meramalkan dengan tepat suatu kejadian besar/penting.
Sang
tokoh itu menerima ajaran atau pengertian tentang paham yang diajarkannya itu
melalui petulangan batin, pengasingan diri, bertapa, bersemedi, bermeditasi,
mengeheningkan cipta, dan lain-lain dalam bentuk ekstase, vision, inspirasi,
dan sebagainya. Dengan demikian, ajarannya tersebut diperoleh melalui
pengalaman pribadi tokoh itu sendiri dan penerimaannya itu tidak dapat
dibuktikannya sendiri kepada orang lain. Hal ini yang kemudian penerimaan
ajarannya hampir-hampir hanya berdasarkan kepercayaan belaka, bukan pemikiran.
Maka dari itulah, di anatara kita ada yang menyebutnya paham, ajaran
kepercayaan, atau aliran kepercayaan (geloofsleer).
Dalam
konteks modern seperti ssekarang ini, paham mistik kiranya menjadi paham
alternatif oleh sebagian besar masyarakat perkotaan (urban). Hal ini terjadi
disebabkan adanya beberapa alasan, antara lain sebagai berikut.[7]
1. Kurang
puas yang berlebihan, bagi orang-orang yang hidup beragama secara
bersungguh-sungguh merasa kurang puas dengan hidup menghamba kepada Tuhan
menurut ajaran agamanya yang ada saja.
2. Rasa
kecewa yang berlebihan. Orang yang hidupnya kurang bersungguh-sungguh dalam
beragama atau orang yang tidak beragama merasa kecewa sekali melihat hasil
usaha umat manusia di bidang scinence
dan teknologi yang semula diandalkan dan diagungkan ternyata tidak dapat
mendatangkan ketertiban, ketenteraman, dan kebahagiaan hidup. Malah
mendatangkan hal-hal yang sebaliknya. Mereka “lari” dari kehidupan modern
menuju ke kehidupan yang serbasujektif, abstrak, dan spekulatif sesuai dengan
kedudukan sosialnya.
3. Mencari
hakikat yang sebenarnya, orang yang ingin mencari hakikat hidup sebenarnya juga
ada yang terjebak bahwa kebenaran hanya akan didapat dari pengalaman mistiknya.
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa tujuan dari paham mistik adalah dapat bersatunya
seorang hamba dengan Tuhan dan selain Tuhan.
C.
Persamaan
dan Perbedaan antara Tasawuf dan Mistik
Mistisme dalam Islam diberi nama
tasawuf; oleh kaum orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis Barat khusus dipakai untuk
mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisime yang terdapat dalam
agama-agama lain. Sufisme merupakan
istilah Inggris modern yang digunakan untuk menerjemahkan kata Arab tasawuf, yaitu kata benda verbal yang
berarti perilaku atau proses menjadi sufi.
Harun Nasution menyebutkan, bahwa
intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan
adanya komunikasi dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan
diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil
bentuk ittihad, bersatu dengan Tuhan,
sehingga bisa dikatakan bahwa pranata mistik adalah seperangkat aturan yang
berkisar tentang kegiatan tasawuf/sufisme. Dengan demikian Harun Nasution dalam
konteks ini melihat tasawuf/sufisme identik dengan mistisisme.[8]
Abu al-Wafa’ al-Ghunaimi
at-Taftazani mengutip pendapat William James, seorang ahli ilmu jiwa Amerika,
mengatakan bahwa kondisi-kondisi mistisisme atau tasawuf selalu ditandai oleh
empat karakteristik sebagai berikut.[9]
1. Ia
merupakan suatu kondisi pemahaman (noetic).
Sebab, bagi para penempuhnya ia merupakan kondisi pengetahuan serta dalam
kondisi tersebut tersingkaplah hakikat realitas yang baginya merupakan ilham,
dan bukan merupakan pengetahuan demonstratif.
2. Ia
merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan.
Sebab, ia semacam kondisi perasaan (states
of feeling), yang uslit diterangkan pada orang lain dalamdetail kata-kata
seteliti apa pun.
3. Ia
merupakan suatu kondisi yang cepat sirna (transsiency).
Dengan kata lain, ia tidak berlangsung lama tinggal pada sang sufi atau
mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan sangat kuat dalam ingatan.
4. Ia
merupakan suatu kindisi pasif (passivity).
Dengan kata lain, seorang tidak mungkin menumbuhkan kondisi tersebut dengan
kehendak sendiri. Sebab, dalam pengalaman mistisnya, justru dia tampak
seolah-olah tunduk di bawah suatu kekuatan supernatural yang begitu
menguasainya.
Sementara menurut R.M.Bucke,
terdapat tujuh karakteristik di dalam kondisi mistisisme atau tasawuf, yaitu
sebagai berikut.
1. Pancaran
diri subjektif (subjective light).
2. Peningkatan
moral (moral elevation).
3. Kecerlangan
intelektual (intellectual illumination).
4. Perasaan
hidup kekal (sence of immotality).
5. Hilangnya
perasaan akut mati (loss of fear of death).
6. Hilangnya
perasaan dosa (loss of sense of sin).
7. Ketiba-tibaan
(suddenness).
Karakteristik umum tasawuf atau
mistisisme, sebagaimana yang dikemukakan James dan Bucke, dapat dikatakan
terdapat pada sebagian besar aliran tasawuf atau mistisme. Namun, karakteristik
yang dikemukakan di atas itu belum lagi lengkap, sebab masih banyak ciri
lainnya yang tidak kalah penting yang tidak tercakup di sana. Misalnya,
perasaan tenteram, keikhlasan jiwa atau penuh penerimaan, perasaan fana penuh
dalam realitas mutlak, perasaan pencapaian yang mengatasi dimensi ruang dan
waktu, dan lain-lain.
Sementara itu, Bertrand Russell
setelah menganalisis kondisi-kondisi tasawauf atau mistisisme, telah berusaha
untuk membatasi ciri-ciri filosofis tasawuf atau mistisme ke dalam empat
karakteristik yang menurutnya akan membedakan tasawuf atau mistisme dari
filsafat-filsafat lainnya, pada semua kurun-masa dan di seluruh penjuru dunia. Antara
lain sebagai berikut.[10]
1. Keyakinan
atas intuisi (intuition) dan
pemahaman batin (insight) sebagai
metode pengetahuan, sebagai kebalikan dari pengetahuan rasional analitis.
2. Keyakinan
atas ketunggalan (wujud), serta peningkaran atas kontradiksi dan diferensi,
bagaimanapun bentuknya.
3. Peningkaran
atas realitas zaman.
4. Keyakinan
atas kejahatan sebagai sesuatu yang hanya sekedar lahiriah dan ilusi saja, yang
dikenakan kontradiksi dan diferensi, yang dikenalikan rasio analitis.
Lebih lanjut, At-Taftazani
menjelaskan bahwa tasawuf atau mistisismeme pada umumnya memiliki lima ciri
yang bersifat psikis, moral, dan epistemologis, yang menurutnya sesuai dengan
semua bentuk tasawuf atau mistisme. Kelima ciri tersebut sebagai berikut.[11]
1. Peningkatan
moral. Setiap tasawuf atau mistisme memiliki nilai-nilai moral tertentu yang
tujuannya untuk membersihkan jiwa, untuk perealisasian nilai-nilai itu. Dengan
sendirinya, hal ini memerlukan latihan-latihan fisik-psikis tersndiri, dan
pengekangan diri dari materalisme duniawi, dan lain-lain.
2. Penemuan
fana’ (sirna) dalam realitas mutlak. Inilah
ciri khas tasawuf atau mistisme dalam pengertiannya yang sungguh terkaji.
Maksud dari fana’ ialah dengan
latihan-latihan fisik dan psikis yang ditempuhnya, seorang sufi atau mistikus
sampai kepada kondisi psikis tertentu di mana dia tidak lagi merasakan adanya
diri ataupun keakuannya. Bahkan, dia merasa kekal-abadi dalam realitas yang
tertinggi. Bahkan, dia telah meleburkan kehendaknya bagi kehendak yang mutlak.
3. Pengetahuan
intuitif langsung. Ini adalah norma yang dikaji secara epistemologis, yang
membedakan tasawuf atau mistisme dengan filsafat. Apabila dengan filsafat, yang
dalam memahami realitas mutlak seseorang menggunakan metode-metode intelektual,
ia disebut seorang filsuf. Sementara itu, jika dia berkeyakinan atas di balik
persepsi indrawi dan penalaran intelektual, yang disebut dengan kasyf atau ituisi atau sebutan-sebutan
lainnya, dalam kondisi seperti ini dia disebut sebagai sufi atau mistikus dalam
pengertiannya yang lengkap. Intuisi menurut para sufi atau mistikus, bagaikan
sinar kilat yang muncul dan perginya selalu tiba-tiba.
4. Ketenteraman
atau kebahagiaan. Ini merupakan karakteristik khusus pada semua bentuk tasawuf
atau mistisisme. Sebab, tasawuf atau mistisme dimaksudkan sebagai petunjuk atau
pengendali berbagi dorongan hawa nafsu, dan pembangkit keseimbangan psikis pada
diri seorang sufi ataupun mistikus, dengan sendirinya, maksud ini membuat sang
sufi ataupun mistikus tersebut terbebas dari semua rasa takut dan merasa intens
dalam ketenteraman jiwa, dan kebahagiaan dirinya pun terwujudkan. Selain itu,
sebagian sufi atau mistikus telah menyatakan bahwa pemenhan fana’ kepada yang mutlak dan pengetahuan
mengenai diri-Nya justru membangkitkan suatu kebahagiaan pada diri seorang
manusia, yang mustahil dapat diuraikan dengan kata-kata.
5. Penggunaan
simbol dalam ungkapan-ungkapan. Maksudnya adalah ungkapan-ungkapan yang
dipergunakan para sufi atau mistikus itu biasanya mengandung dua pengertian.
Pertama, pengertian yang diperoleh dari harfiah
kata-kata. Kedua, pengertian yang diterima dari analisis dan pendalaman.
Pengertian yang kedua ini hampir sepenuhnya tertutup bagi yang bukan sufi atau
mistikus; dan sulit baginya untuk dapat memahami ucapan sufi ataupun mistikus,
apalagi untuk dapat memahami maksud dan tujuan mereka. Sebab tasawuf atau
mistisme adalah kondisi-kondisi efektif yang khusus, yang mustahil dapat
diungkapkan dengan kata-kata. Setiap sufi atau mistikus punya cara tersendiri
dalam mengungkapkan kondisi-kondisi yang dialaminya. Dengan demikian, tasawuf
atau mistisme merupakan pengalaman yang subjektif.
Perspektif di atas menunjukkan
bahwa At-Taftazani memiliki pendapat sama dengan Harun Nasution, yang memandang
bahwa tasawuf dan mistisisme adalah dua hal yang sama. Keduanya telah memiliki
pengertian, objek, karakteristik dan tujuan yang sama.
Dalam konteks ini, akan sulit
dibedakan mengenai definisi orang sakti/hebat dengan cara belajar ilmu
kanuragan, kesaktian (ilmu hikmah), dan lain-lain; dengan orang yang memang
mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara maqamat
(stations/stages/tahapan-tahapan)
dalam tasawuf. Ini yang kemudian dapat mengelabui banyak orang atas kekaburan
tersebut. Oleh karena itu, kiranya penting untuk dijelaskan perbedaan dan
persamaan antara tasawuf dan mistik sehingga dipahami akan posisi eksistensi
ajaran masing-masing.
Persamaan
dan Perbedaan Tasawuf dan Mistik[12]
Perbedaan
& Persamaan
|
Tasawuf
|
Mistik
|
Sumber
|
Wahyu (Alquran dan
Alsunnah), al-Atsar ash-Shahabah,
tradisi Salafuna ash-Shalihin
|
Pemikiran, Budaya,
dan Tradisi
|
Objek
|
Ash-shadr,
al-qalb, al-fuad, al-lubb, dan an-nafs
|
Psikis, Batin, dan
Rasa
|
Metode
|
Intuitif,
dzauqy, kasyfy, ‘irfany
|
Olah rasa, Kebatinan,
dan Kepercayaan
|
Tujuan
|
Kedekatan dengan
Tuhan dalam berbagi bentuk (bisa ma’rifah, mahabbah, fana’, hulul)
|
Kedekatan dengan
Tuhan dan selain Tuhan (bisa bersatu dengan Tuhan dan
selain Tuhan)
|
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tasawuf adalah pengetahuan tentang
semua bentuk tingkah laku jiwa manusia, baik yang terpuji maupun tercela.
Mistik sebagai sebuah paham,
mistisisme merupakan paham yang memberikikan ajaran yang serbamistis (ajarannya
berbentuk rahasia) sehingga hanya dipahami oleh orang-orang tertentu saja.
Perbedaan dan persamaan antara
tasawuf dan mistik terletak pada sumber, objek, metode, dan tujuan.
B.
Saran
Kami menyadari kekurangan dari makalah ini, sehingga kami manyarankan
kepada pembaca agar bisa memberikan kritik dan saran, agar makalah ini bisa
jadi lebih baik, terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Ni’am,
Syamsun. 2014. TASAWUF STUDIES PENGANTAR
BELAJAR TASAWUF. Yogyakarta:
AR-RUZZ MEDIA
Nasution,
Ahmad Bangun, & Siregar, Royani Hanum. 2013. Akhlak Tasawuf. Depok: PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Rusli,
Ris’an. 2013. TASAWUF DAN TAREKAT Studi
Pemikiran dan Pengalaman Sufi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
[1] Ris’an, Rusli, TASAWUF DAN TAREKAT Studi Pemikiran dan
Pengalaman Sufi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 4-6
[2] Ahmad Bangun Nasution, dan Royani
Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf,
(Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 13
[3] Ris’an, Rusli, TASAWUF DAN TAREKAT...hlm. 9
[4] Syamsun, Ni’am, TASAWUF STUDIES PENGANTAR BELAJAR TASAWUF, (Yogyakarta:
AR-RUZZ MEDIA, 2014), hlm. 105
Terima kasih! Saya sangat puas dengan penjelasan makalah ini. Tetap semangat terus! Dan semoga barokah!
BalasHapus